BERNASNEWS.COM – Sivitas akademika Fakultas Hukum (FH) UII meminta dan menuntut pemerintah dan DPR RI untuk tidak melanjutkan atau menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Sebab, FH UII memandang penting bagi pemerintah dan DPR untuk menyempurkan beberapa undang-undang sektoral daripada menyusun undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang belum terbukti keberhasilannya di negara lain dan sangat potensial merusak sistem perundang-undangan di Indonesia.
“Sivitas akademikan FH UII akan tetap konsisten mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Dan jika RUU ini disahkan pun, sivitas akademika FH UII akan menempuh jalan konstitusional untuk menuntut pembatalannya,” kata Dr Abdul Jamil SH MH, Dekan FH UII, kepada wartawan di Kampus FH UII Jalan Tamansiswa Yogyakarta, Kamis (12/3/2020) siang.

Abdul Jamil yang didampingi Kepala Pusat Studi Hukum (PSH) UII Anang Zubaidy SH MH dan Kepala Divisi Riset PSH FH UII Dr Idul Rishan SH MH mengatakan, permintaan dan tuntutan itu disampaikan setelah FH UII melakukan kajian atas RUU tersebut, Jumat (6/3/202) lalu. Forum kajian yang difasilitasi PSH FH UII serta diikuti dosen dan mahasiswa FH UII itu diawali paparan dari Pakar Hukum Lingkungan dan Hukum Perundang-undangan FH UII Dr Zairin Harahap SH MSi dan Pakar Hukum Ketatanegaraan FH UGM Prof Dr Ari Hernawan SH M.Hum.
Berdasarkan hasil kajian atas RUU Cipta Kerja tersebut, menurut Abdul Jamil, sivitas akademika FH UII menyimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja memiliki problem prosedur pembentukan dan substansial yang cukup serius. Dan problem tersebut berpotensi menggiring RUU Cipta Kerja pada pertentangan secara konstitusional.
“Negara semestinya melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia, salah satunya melalui pembentukan undang-undang. Namun, RUU Cipta Kerja justru jauh dari itu, bahkan berpotensi melanggar hak-hak warga masyarakat yang dijamin oleh konstitusi,” kata Abdul Jamil.
Sementara Anang Zubaidy SH MH mengatakan, jika ditelaah dari aspek filosofis, yuridis dan sosiologis sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 jo UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU tersebut belum memenuhi syarat.i
Dari aspek filosofis, menurut Anang, ruh atau semangat di balik metode omnibus law dalam RUU Cipta Kerja semata demi kepentingan investasi bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan.
Sementara dari aspek sosiologis, sivitas akademika FH UII memandang bahwa masyarakat tidak atau setidaknya belum membutuhkan UU tersebut, terutama jika dikaitkan dengan isinya yang cenderung mengedepankan kepentingan investasi/pemodal. “RUU Cipta Kerja ini cenderung top-down dan bukan bottom-up dari masyarakat yang membutuhkan pengaturan,” tegas Anang.
Sedangkan Dr Idul Rishan SH MH menekankan bahwa yang diperlukan saat ini adalah harmonisasi dari UU yang ada. Artinya, mana yang dinilai/dianggap bertentangan satu sama lain, perlu diharmoniskan, bukan mengubah UU yang ada melalui metode omnibus law.
Karena itu, prosedur pembentukan UU harus dipatuhi dengan meminta masukan dari masyarakat, termasuk akademisi, sebelum diajukan ke DPR untuk dibahas. Hal ini dimaksudkan agar sejak awal diketahui aspek-aspek yang dianggap bertentangan satu sama lain sehingga langsung diperbaiki, bukan setelah UU sudah dibentuk. (lip)