BERNASNEWS.COM – Internet dan media sosial (medsos) berperan penting dalam pengembangan budaya damai (culture of peace) di suatu bangsa. Budaya damai sendiri dibangun atas berbagai pilar, termasuk partisipasi demokratis dan kebebasan arus informasi. Melalui kanal tersebut, aspirasi dari masyarakat dapat langsung diterima dan menjadi pertimbangan kebijakan pemerintah.
Hal itu disampaikan Rektor UII Fathul Wahid PhD selaku salah satu panelis dalam diskusi bertema Studi Komparasi Budaya Damai dan Demokrasi Berkelanjutan: Indonesia dan Thailand di Royal Princess Larn Luang Hotel, Bangkok, Thailand, Senin (16/9/2019).
Diskusi diselenggarakan atas kerja sama UII dan The King’s Prajadiphok Institute (KPI), Thailand, dihadiri 20 peserta yang terdiri dari akademisi Thailand dan Indonesia, anggota parlemen Thailand dan perwakilan dari Senat Kamboja.
Selain Fathul Wahid, juga tampil sebagai panelis adalah Perdana Menteri Thailand tahun 2008-2011 Abhisit Vejjajiva; Anggota DPR Thailand Nikorn Chamnong dan dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Chulalongkorn, Thailand Siripan Nogsuan Sawasdee.
“Salah satu contoh pengembangan partisipasi demokratis yang telah diterapkan di Indonesia adalah Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR). Melalui layanan ini, masyarakat dapat menyampaikan laporan dan berinteraksi langsung kepada instansi pemerintah yang berwenang,” kata Fathul seperti dikutip Rifqi Sasmita Hadi SE dalam rilis yang dikirim ke media, termasuk Bernasnews.com, Selasa (17/9/2019).
Menurut Fathul Wahid, pemanfaatan LAPOR oleh masyarakat sebagai bentuk e-Partisipasi merupakan contoh peran positif internet dalam pengembangan budaya damai di Indonesia.
Sementara di sisi lain, internet dan media sosial juga memiliki potensi peran negatif dalam penguatan budaya damai. Dalam era pascakebenaran (post-truth), kepercayaan pribadi dan emosi justru lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding fakta dan obyektivitas.
“Oleh karena itu, mitigasi risiko dan pemanfaatan internet dan media sosial secara tepat mutlak diperlukan agar terhindar dari eskalasi budaya konflik (culture of conflict),” tambah Fathul.
Senada dengan Fathul, Siripan Nogsuan Sawasdee mengatakan bahwa partisipasi demokratis merupakan salah satu pilar penting untuk membangun Budaya Damai. “Namun demikian, Budaya Damai dan demokrasi tidak selalu dapat hidup bersama. Institusionalisasi yang lemah dan konflik ekonomi dapat berpotensi menjauhkan demokrasi dari Budaya Damai,” kata Siripan.
Sementara Perdana Menteri Thailand tahun 2008-2011, Abhisit Vejjajiva, mengatakan pentingnya tiga hal dalam pembangunan budaya damai, yaitu supremasi hukum (rule of law), transparansi dan kontrak sosial. “Thailand dan Indonesia dengan kesempatan dan tantangan masing-masing telah berupaya membangun ketiga hal tersebut, khususnya setelah krisis finansial tahun 1997,” kata Abhisit.
Menurut Abhisit, tiga hal tersebut juga berperan penting dalam menyelesaikan isu-isu sensitif di masyarakat, seperti relasi monarki dan pemerintah eksekutif di Thailand. “Selain ketiga hal tersebut, edukasi publik juga memiliki peran penting untuk membangun Budaya Damai melalui peningkatan pemahaman masyarakat dalam menghargai perbedaan pendapat,” kata mantan Perdana Menteri Thailand tahun ini pada akhir diskusi. (*/lip)