News  

SOKA Organik Membangun Ekonomi Kerakyatan

Bursa Sayur Organik setiap hari Sabtu dan Minggu, di Jalan Gamelan, Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Yogyakarta.

BERNASNEWS.COM — Sudah banyak teori tentang ekonomi kerakyatan. Sebagai orang awam yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, penulis mencoba untuk memulai membangun ekonomi kerakyatan dari tiga tahun lalu sewaktu penulis memutuskan untuk mencari tempat pensiun di Dusun Balong, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Daerah Samigaluh termasuk dataran tinggi (500 sampai dengan 800 dpl), daerah subur dengan hawa dan suasana yang masih dipenuhi dengan hutan dan kebun. Tanaman empon-empon (jamu) seperti jahe, kunyit, sereh dan lain-lain banyak dijumpai sebagai tanaman liar yang berada di seputaran halaman maupun tumbuh liar di ladang penduduk.  
    Di sana juga banyak dijumpai pohon kelapa, mahoni maupun sengon sebagai bagian dari harapan ekonomi warga.  Penghasilan warga banyak ditunjang oleh pemeliharaan ternak sapi dan kambing baik milik sendiri maupun bagi hasil.
Komposisi penduduk yang tinggal di kampung, sebagian besar berumur di atas 40 tahun, sementara generasi muda lebih banyak keluar daerah baik ke Jogja maupun ke Jakarta untuk bekerja sebagai buruh maupun pekerjaan lainnya.  
    

Banyak dijumpai ibu bahkan nenek-nenek yang masih aktif mencari rumput dan bekerja membantu di ladang. Langkanya tenaga muda juga disebabkan karena belum berkembangnya aktifitas ekonomi di daerah ini, baik dari sektor pertanian (sawah dan ladang) maupun peternakan. Hampir semua aktifitas terbatas untuk memenuhi kebutuhan hidup saja.
    Penguasaan lahan per petani sebenarnya cukup baik mencapai sekitar 0,5 sampai dengan 3 ha per petani. Tentu ini merupakan potensi pengembangan usaha pertanian. Secara umum memiliki kendala air, khususnya jika musim kemarau, sehingga berladang/ berkebun hanya dilakukan saat menjelang musim hujan. Bentuk tanah yang miring dan berbatu memerlukan upaya yang lebih untuk pengusahaan pertanian
    Akses jalan yang telah dibuat oleh pemda maupun dusun cukup memadai untuk mobilitas dan tranportasi. Kendala utama adalah karena elevasi atau sudut kemiringan tempat yang cukup curam menyebabkan tidak semua sarana transportasi bisa digunakan.
    

Melihat kondisi yang ada, penulis bersama relawan organik mencoba untuk membangun konsep desa organik dan desa swadaya melibatkan kelompok tani. Hal ini dilakukan untuk, pertama, membuat pupuk organik memanfaatkan kotoran hewan ternak petani. Ini potensi untuk dijual sebagai pupuk organik/media tanam. Kedua, pelatihan dan pembuatan bersama pupuk organik cair yang berasal dari empon-empon dan material yang ada di desa potensi dijual sebagai POC.
    Ketiga, pelatihan dan pembuatan asap cair untuk pestisida organik potensi untuk dijual sebagai pestisida. Keempat, pelatihan dan pembuatan kebun bibit potensi untuk dijual dan digunakan sendiri. Kelima, supervisi pembuatan minyak kelapa dan bertindak sebagai pengepul untuk mencarikan pasar bersama. Keenam, supervisi dan pengumpulan hasil ladang empon-empon untuk diproses pengeringan dan mencarikan pasar bersama.
    Kemudian, ketujuh, membuat kebun percontohan dengan tatakelola yang baik (untuk pembanding petani dalam mengelola lahannya). Kedelapan, menjajaki kerja sama dengan industri dan supplier bahan (kendalanya adalah harga yang ditetapkan industri relatif lebih rendah dari pasar lokal). Kesembilan, membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) dan standar kualitas produk olahan maupun pertanian. Kesepuluh, membuat brand “SOKA Organik” sebagai bagian dari strategi marketing. Kesebelas, menyiapkan kelengkapan persyaratan izin produksi. Keduabelas, membentuk kelopok tani organik Samigaluh di Desa Balong, Kedunggupit, Jeringan dan Sendangmulyo. Dan ketigabelas, menyiapkan tempat display/pemasaran produk-produk yang dihasilkan Kebun SOKA dan kelompok tani organik Samigaluh.
    

Pekerjaan tersebut sudah dilakukan sejak dua tahun silam dan saat ini sudah mulai ada hasilnya dalam hal produksi. Kelompok SOKA sudah bisa menghasilkan minyak kelapa 100 liter, kelapa tua 1.500 butir per minggu, serta bibit sayuran, bibit bunga, bibit empon-empon serta menyediakan pupuk organik baik cair maupun padat beserta media tanam yang semua diolah dan diproses secara organik.
    Masih menyisakan Pekerjaan Rumah (PR) yang besar berupa akses pasar dan pemasaran produk-produk di atas, yang tentunya sangat perlu dukungan dari masyarakat. Khususnya yang peduli dengan ekonomi kerakyatan, kesehatan, dan ekosistem yang berkelanjutan. Produk-produk organik dan pengolahan tradisional pasti tidak bisa disandingkan dengan produk pabrikan apalagi impor. Contoh minyak sawit hanya dijual dengan harga Rp 10.000/liter, sementara minyak kelapa minimal dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 30.000/liter. Dan pupuk organik memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan pupuk kimia pabrik. Sayuran organik akan lebih mahal dan kadang penampilan lebih jelek (tampak dimakan ulat) dibandingkan dengan sayuran non organik.
  

 Ekonomi kerakyatan hanya bisa berjalan normal jika masyarakat juga ikut mendukung, tentunya dengan ikut membeli dan merespon aktif kualitas produksi petani supaya bisa meningkat kualitas dan kuantitas hasil produksi. Dengan diapresiasinya produk petani, tidak mustahil akan menggairahkan perekonomian desa yang pada akhirnya akan memanggil kembali kaum muda untuk kembali membangun desanya, yang secara tidak langsung akan mengurangi kepadatan perkotaan dan menciptakan lapangan kerja yang selama ini menjadi pekerjaan besar pemerintah.
    Semoga tulisan ini bisa menggugah hati pembaca dan bisa turut aktif membantu Kelompok Organik SOKA dalam mejalankan misi ekonomi kerakyatan di Samigaluh, Kulonprogo, Yogyakarta, dengan membeli produk dari petani mana saja. Dengan demikian, Anda telah menjadi pahlawan bagi petani untuk menjaga tugas ketahanan pangan Indonesia. Salam Merdeka. ***

Ditulis oleh : Heroe Soelistiawan, Bambang Susilo dan Vico, Desa Balong, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, DIY.

*) Artikel ini juga telah dimuat di Media Komunitas NAGARI, Edisi XVII/ 9 April 2019